Senin, 07 September 2020

Maaf bung, saya belum bisa seperti mu


Munir Thalib pernah berkata-kata: Aku harus tenang walaupun takut. Untuk membuat semua orang tidak takut. Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang anggak takut, Cuma yang coba aku temukan merasionalisasi rasa takut.

Ya. Benar yang ia katakan. Semua orang pasti memiliki rasa takut. Sebab, Rasa takut merupakan hal yang manusiawi dan merupakan anugrah  dari tuhan, agar manusia dapat mempertahankan hidupnya.

Akan tetapi, saya tak menyangka seorang Munir Thalib,  mampu mengolah(merasionalisasi) rasa takutnya menjadi sebuah energi yang mampu melampaui rasa takutnya itu.

Saya membayangkan, bagaimana bisa, ia mengendalikan rasa takutnya itu. misalkan, Ketika tiba-tiba ia di kirimi surat kaleng berisi ancaman pembunuh atas dirinya. Mendapatkan teror Bom Atau misalkan ia di telpon oleh penelepon yang tak ia kenali lalu mengancam membunuh istri dan anaknya?

Apa yang kita-kira ia pikirkan ketika di hadapkan dalam kondisi seperti itu?

***

Munir Said Thalib, ia di lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965. Ia merupakan seorang aktivis HAM Indonesia. Dan ia pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. 

Dalam Wikipedia (Baca: Aktivitas)  di situ, tertulis dengan sangat jelas mengenai aktivitas  seorang Munir Thalib.

Dari rekam jejak itu, kita tahu bahwa Munir Thalib merupakan seorang pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Pro demokrasi  berkeadaban, yang cinta akan keadilan. Ia tak segan-segan membela siapa saja yang menuntut keadilan. Ia tidak akan membiarkan hak asasi manusia di abaikan.

Sikap (idealisme) nya itu sudah nampak semenjak  ia kuliah. Mungkin dari itu, ia di pilih rekan-rekannya untuk menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unibraw pada 1998.

Salah organisasi  yang turut membentuk sikap idealisme itu adalah  HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tentu, tak lepas dari orang tua nya yang menambah nilai-nilai keluhuran pada dirinya semasa kecil.

Dengan pengalamannya di organisasi dan  aktivis kemanusiaan, membuatnya menjadi sorang pemikir yang otentik. Dalam istilah Ali syariati ia telah menjelma menjadi seorang rausyan fikr (pemikir tercerahkan).  Sehingga ia pun mampu merasionalisasi rasa takutnya.

Sayangnya, prinsip dan sikap nya idialis nya itu tak membuatnya  di sukai banyak orang. Namun, ada juga orang yang merasa  terganggu oleh sikapnya itu. Sehingga melakukan teror hingga ancaman pembunuhan terhadapnya.

Seperti dilansir KontraS.org, Munir pernah mendapat teror bom yang meledak di pekarangan rumahnya di Jakarta pada Agustus 2003.

Kemudian, pada tahun 2002, kantor tempatnya bekerja, KontraS, pernah diserang oleh beberapa orang tidak dikenal. Setelah menghancurkan perlengkapan kantor, segerombolan orang itu merampas dokumen secara paksa. Dokumen itu terkait dengan pelanggaran HAM yang sedang dikerjakan KontraS.

Pada puncaknya, ia di racuni. di dalam perjalannya   ( mengunakan pesawat Garuda 974) untuk melanjutkan studi S2 nya.

Lima jam berlalu, sebelum pesawat mendarat di Amsterdam, di luar dugaan: Munir tidak bergerak, sekujur tubuhnya dingin. Aktivis dan pejuang HAM itu meninggal di atas langit-langit Amsterdam, 7 September 2004.

Sekiranya saya di posisinya. saya tahu bahwa, saya tak  mampu seperti dirinya. Ancaman, intimidasi. Membuat nyali ku menciut.

Keselamatan diri dan keluarga adalah hal yang utama. Saya tak mau rela mati demi orang lain.

Demi sesuatu (keadilan, kemanusiaan) yang toh banyak orang tidak memperdulikan nya?

Walaupun saya membiarkan korupsi atau pelanggaran HAM. Saya pun tak akan di penjara. Sebab, saya tak korupsi. Saya hanya tidak peduli tentang itu.

Kenapa saya harus repot menentang atau membela keadilan dan kemanusiaan,  yang pada akhirnya saya di benci banyak pihak yang tak senang dengan apa yang saya lakukan? Hingga berniat membunuhku.  Bukan hanya berniat. Tapi membunuh ku.

Maafkan saya Saya belum bisa menjadi kawan mu. seperti   kata Che Guevara:
Jika Anda bergetar dengan geram pada setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya.

Saya rasa, saya belum bisa seperti dirimu! Merasionalisasi rasa takut. Sehingga ancaman, teror hingga kematian bukanlah hal yang "menakutkan" bagimu.

Bukan hanya saya. Orang-orang  juga takut seperti saya.

Kenapa saya bisa mengatakan demikan?

Karena sampai  hari hari ini pun banyak yang masih membiarkan kematian mu. Mereka tidak benar-benar mengusut dengan tuntas  siapa dalang dari pembunuhan mu.

Akhirnya. Saya hanya bisa berucap: Tenang di sana Bung, Engkau Abdi dalam Ingatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar